Tommy sedang asyik bermain dengan temannya, tiba-tiba ia tidak sengaja terjatuh. Seketika itu juga Tommy menangis. Ibunya yang mengawasi dari kejauhan, langsung berteriak “Tommy Jangan nangis ah! Anak laki jangan cengeng. Gitu aja kok nangis sih”. Semakin kencang Tommy menangis, ibunya semakin kesal.

Ketika kita sebenarnya merasa sedih, takut, atau marah, kita menjadi terlatih untuk membuang jauh-jauh perasaan tersebut. Padahal, sesungguhnya perasaan sedih, takut, dan marah adalah emosi yang juga diciptakan oleh Tuhan. Bahkan Tuhan Yesus sendiri pernah merasa sedih, takut, dan marah. Jika kita terbiasa berusaha membuang jauh-jauh rasa takut, sedih, dan marah, maka suatu saat perasaan kita bisa menjadi tumpul. Kita jadi sulit mengenali perasaan yang sedang kita rasakan.
Ketika seseorang mampu mengenali perasaan yang sedang ia rasakan, ia sudah maju 1 langkah untuk menjadi orang yang cerdas emosi. Orang yang cerdas emosi adalah orang yang mampu mengenali/merasa tentang diri sendiri dan bagaimana orang lain bereaksi terhadap perasaannya, bagaimana memikirkan perasaan tersebut dan pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi dan mengungkapkan harapan serta perasaan. Bagaimana agar anak kita menjadi orang yang cerdas emosi? Kita harus terlebih dulu menjadi teladan yang baik dalam mengelola perasaan sendiri yang diungkapkan melalui perilaku dan perkataan.
Menyadari emosi anak
Penting bagi kita untuk dapat belajar berempati pada anak, belajar merasakan dan menerima perasaan atau emosi yang sedang dialami anak.
Mengakui emosi sebagai kedekatan dan belajar
Mendengarkan dengan empati dan meneguhkan perasaan anak
Untuk melakukan langkah ini, kita dapat menerapkan teknik reflektif, yaitu dengan menyatakan kembali apa saja yang kita amati dari anak. Misalnya: Ibu perhatikan, kamu selalu merengut bila Ibu bicara tentang guru kelas kamu”. Kemudian, tunggu jawabannya. Hindari pertanyaan-pertanyaan yang sudah kita ketahui jawabannya, misalnya: “jam berapa semalam kamu pulang?”.
Lebih baik bukalah percakapan semacam itu dengan pengamatan langsung, misalnya “kamu pulang jam satu lewat tadi malam, dan ayah rasa hal itu tidak dapat diterima”. Menyampaikan contoh-contoh dari kehidupan kita sendiri dapat merupakan cara yang baik untuk memperlihatkan pengertian. Dengan demikian, anak akan meyakini bahwa emosi yang ia alami adalah wajar dan tidak hanya dirinya sendiri, bahkan orang tuanya pun mengalaminya.
Menolong anak memberi nama emosi dengan kata-kata
Kita perlu membantu anak menamai perasaan yang sedang dialami. Semakin tepat dan spesifik maka semakin baik. Misalnya: kecewa, iri, merasa ditinggalkan, kosong, murung, dan lain-lain. Jelaskan pula bahwa terkadang terdapat pencampuran antara beberapa emosi, dan hal ini adalah wajar.
Menamakan perasaan-perasaan yang sedang dialami membantu anak mengubah suatu perasaan yang tidak jelas, menakutkan, dan tidak nyaman menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan, sesuatu yang mempunyai batas-batas, dan merupakan bagian wajar dari kehidupan sehari-hari.
Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah
Yang dimaksud dengan menentukan batas-batas adalah kita membimbing anak untuk membedakan kewajaran perasaan tertentu dengan ekspresi perilaku yang tidak tepat. Misalnya: boleh saja marah, tapi tidak boleh membanting-banting barang. Setelah itu kita dapat membantu anak menentukan sasaran, yaitu dengan cara memantulkan apa yang teramati/didengar dan arahkan anak untuk menemukan penyebabnya: “Menurutmu apa yang membuatmu sedih?”. Kemudian, ajak anak memikirkan pemecahan yang memungkinkan, dan evaluasi kembali pemecahan yang disarankan.
Dalam memikirkan pemecahan, biarkan anak yang memikirkan sendiri setiap opsi solusi (khususnya untuk anak berusia lebih dari 10 tahun). Kita hanya bertugas membimbing. Cara mengevaluasi bisa dengan pertanyaan seperti: “apakah ide itu aman?”, “apakah akan berhasil?”, dan lain-lain.
Terakhir, dari setiap opsi solusi, tolong anak untuk memilih solusi terbaik berdasarkan hasil evaluasi. Bantu anak untuk melihat langkah dan hasil konkret dari pilihan-pilihan keputusannya. Tidak masalah jika anak menghadapi kesalahan dari keputusannya, anak dapat belajar hal bermanfaat dari pengalaman tersebut.

Artikel ini juga muncul pada website Integrated Christian School IPEKA.